Thursday, April 18, 2013

Java Heat, Eksotika Teror Misterius yang Tanggung

Java Heat, Eksotika Teror Misterius yang TanggungBERLATAR langit disaput awan dengan matahari bersinar terik, siluet stupa candi Borobudur muncul di layar. Lalu, tampil titel: “Jawa, Indonesia.” Scene belum berganti, tujuh detik kemudian, masih dalam potongan gambar yang sama, tertulis: “Negara keempat terbesar di dunia”. 
 
Belum lagi mulai adegan pembuka. Teknik muncul dalam tata sinematografi ini sudah menunjukkan sesuatu yang keliru. Tempat di mana candi itu berada memang termasuk wilayah Pulau Jawa dari negara keempat terbesar di dunia, Indonesia. Tapi sutradara Conor Allyn menuliskan  ‘Indonesia’ hanya sebagai bagian anak kalimat dari ‘Jawa’ pada titel yang ditampilkan di awal film ini. Sejak dari pertama, agaknya, Conor hendak menjebakkan dirinya sendiri ke dalam sebuah kontroversi.
 
Alkisah, John Jason Wild alias Jake diamankan polisi sebagai saksi karena dia berada di tempat kejadian perkara. Peristiwa yang harus dia jelaskan kepada pihak berwajib ialah insiden bom bunuh diri dalam pesta yang digelar di pendopo sebuah istana. Kejadian itu merenggut nyawa Sultana, putri mahkota.
 
Warga Amerika itu diinterogasi Kapten Hashim dari unit Detasemen Khusus Antiteror (Densus 88). Jake mengaku dosen tamu dari Cornell University. Di pesta itu dia sempat berkenalan dengan Sultana.
 
“Wow, berlian Khmer Royal Treasury!” decak Jake kagum melihat kalung yang melingkari leher sang putri. Perhiasan kuno itu diketahui bernilai amat mahal.
 
Bagaimana Jake menyelamatkan diri dari ledakan bom? Tak ada sepotong gambar pun yang menjelaskan momen heroik itu sampai ke akhir cerita.
 
Ternyata Jake bukan nama aslinya. Dia marinir yang bertugas di Irak ketika terjadi peristiwa bom bunuh diri yang merenggut nyawa adiknya di sana. Di balik teror, rupanya para pencuri benda antik mengejar untung.
 
Maka, di kalung Sultana itu semua misteri tersembunyi. Lalu, tampil antagonisnya, bernama Malik. Penjahat itu memanfaatkan ideologi Islam fundamentalis yang melekat pada diri Achmed. Malik memasok dana buat perjuangan suci mereka. Tapi tak jelas apa yang sebenarnya diperjuangkan.
 
Di luar gambar apik tentang suasana pedesaan di Jawa, candi Borobudur, dan lorong-lorong gelap dalam kota Yogyakarta, tak ada kelebihan visual di mata. Akting Mickey Rourke yang memerankan Malik sebagai aktor paling senior di film ini kurang tertata rapi.
 
Rourke di-casting sebagai penjahat yang mengidap homoseksual. Dia menculik Sultana, menguasai Achmed. Siapa Malik dan apa latar belakangnya terkesan hanya ruang gelap sama sekali. Tak ada greget sedikit pun seperti saat dia bermain gemilang dalam 9½ Weeks bersama Kim Basinger, dulu. Masa keemasan karier Rourke yang sudah agak redup ikut tambah suram karena film ini.
 
Selain itu, Jake (Kellan Lutz) Sultana (Atika Hasiholan), dan Hashim (Ario Bayu) berakting standar tidak selayaknya rata-rata pemain bintang. Gaya Rio Dewanto kedodoran menanggung beban menjadi polisi yang akhirnya tewas tertembak. Yang mencuri perhatian justru Tio Pakusadewo sebagai sepupu pengkhianat Sultan. Sejak  adegan awal muncul menyela percakapan Jake dengan Sultana, dia memperlihatkan watak liciknya lewat tatapan mata yang tajam seperti menikam di kamera.
 
Unsur misteri film ini digarap dengan tanggung. Juga kalau mau dibilang secara total ini film aksi. Apalagi, bila disebut sebagai gabungan ‘action-thriller’ sungguh meragukan. Sutradara Conor Allyn seperti sengaja membikinnya mentah alias setengah matang. Film produksi Margate House ini diputar pertama kali di bioskop untuk publik penontonnya, Kamis 18 April 2013.

0 comments:

Post a Comment